Rabu, 28 November 2018

Ayah



 “Brrrmmm…!!.”  Suara mesin mobil dihidupkan diringi suara pagar dIbuka menyentak membangunkan tidurku.  Aku yang saat itu masih kecil, berlari menuju pintu depan sambil menangis, merengek agar Ayah tak pergi.  Tak ingat berapa umurku saat itu.  Yang jelas kejadian ini selalu berulang  setiap minggu, terekam dalam memori masa kecilku . 

Setiap senin dini hari, Ayah akan menghidupkan mesin mobil, membuka pagar rumah dan berangkat ke kota lain.  Ya, Ayah berkerja di kota lain dengan jarak lebih kurang 3 jam dari rumah. Aku, Ibu dan adik-adik tetap di sini.  Lazimnya, Ayah akan kembali Sabtu siang berkumpul bersama kami.  Kami menjalani kehidupan seperti ini selama lebih kurang 12 tahun sebelum akhirnya Ayah memboyong kami  bersama.
Hampir seluruh masa kanak-kanak kuhabiskan jauh dari Ayah.  Namun, Alhamdulillah tak pernah aku merasa kekurangan limpahan kasih sayang dan perhatian dari sosok Ayah.  Memori masa kecilku penuh dengan kenangan-kenangan indah bersama Ayah.  Ayah selalu mengizinkanku dan adik bermain hujan (mandi hujan) di saat Ibu enggan memberikan izin.  Ayah lah yang mengajariku mengendarai sepeda roda dua.  Jatuh terluka dan bangkit kembali kupelajari dari Ayah.  Hal ini bahkan berlanjut sampai dewasa ketika bersama Ayah lah aku paling nyaman belajar mengendarai sepeda motor dan mobil.
Meski hanya bertemu 2 hari sepekan tidak membuat Ayah menyerahkan urusan pendidikan kami sepenuhnya pada Ibu.  Ayahku adalah Ayah yang berusaha menjaga diri dan keluarganya dari api neraka.  Masih kuingat betapa dulu Ayah adalah yang paling sering menanyakan shalatku.  Dan masih tersimpan dalam memori masa kecilku ketika Ayah marah karena aku berbohong mengatakan aku sudah shalat, padahal belum.
Ayahku adalah abdi negara, abdi masyarakat.  Berkumpul bersama Ayah dalam satu atap setelah 12 tahun tinggal di kota yang berbeda, membuatku melihat kesIbukan Ayah selama ini.  Pergi pagi pulang sore, terkadang sampai malam tak kunjung tiba.  Semakin tinggi karir Ayah semakin tinggi pula kesibukan beliau.  Kami telah biasa ditinggal Ayah kerja saat hari libur, atau bahkan tengah malam ketika ada telepon mengabarkan terjadi bencana atau kemalangan di kota.  Hingga suatu saat aku menyadari bahwa Ayah bukan hanya milikku tapi juga milik masyarakat kota ini.
Di tengah kesibukan Ayah pun, Alhamdulillah aku tetap tak merasa kehilangan sosok Ayah.  Ayah selalu menjadi sosok panutan dengan kejujuran dan teguh pendiriannya.  Ayah selalu mengajarkan kami untuk selalu bergantung pada Allah, bukan yang lain. Bahkan sampai hari ini pun pesan dan nasihat Ayah mampu menentramkanku kala kegalauan melanda.
Pernah, suatu ketika aku menginap di rumah Ayah dan Ibu.  Saat itu aku telah menikah, memiliki bayi dan berdomisili di kota lain.  Itu adalah masa-masa di mana Ayah paling sibuk.  Lebih kurang pukul 1 malam, di tengah kantuk ketika tengah menyusui bayi, aku mendengar bunyi pintu garasi terbuka dan membatin “Oh Ayah telah pulang”.   Pukul 4 dini hari aku terbangun kembali dan mendengar suara-suara di luar kamar.  Ternyata Ayah yang di luar, shalat tahajud. 
Wajar bagiku yang waktu itu sedang menyusui bayi ASI ekslusif untuk terbangun pada malam dan dini hari. Tapi Ayah?  Tak dapat kubayangkan betapa lelahnya Ayah saat pulang pukul 1 malam, dan ternyata pukul 4 telah berdiri lagi untuk shalat malam.  Dan kudengar lagi dari balik pintu kamarku, ternyata Ayah melanjutkan shalatnya dengan membaca Al Qur’an, sebelum kudengar lagi pintu garasi terbuka menandakan Ayah berangkat shalat subuh ke mesjid.  Dan kuamati selama menginap, itu tidak hanya terjadi satu malam, tapi juga malam-malam berikutnya.  Kupikir, di sanalah sumber energi Ayah menghadapi segala bentuk masalah, yang hampir tiap hari datang menyinggahi.  Ya, dibanding orang biasa seperti aku, Ayah dan Ibu selalu memiliki segudang masalah untuk dihadapi.  Tak ubahnya ikan-ikan laut yang tetap segar tiba di daratan, karena dimasukkan nelayan ke dalam tangki bersama hiu-hiu kecil yang selalu mengejar.
Di usia sekarang, sudah sepatutnya Ayah bersantai, menikmati lebih jauh keintiman beribadah kepada Allah swt serta bermain bersama cucu-cucu.  Tak perlu lagi Ayah menghabiskan dana, tenaga maupun pikiran untuk orang banyak. 
Tapi Ayah adalah ayah yang selalu mengajariku dan adik-adik untuk selalu meneladani Nabi Muhammad saw.  Rasulullah pun menapaki hari tua dengan tetap tidak beristirahat, beliau tetap dalam kesibukan mengurus umat.  Semoga Allah swt selalu menjaga, melindungi dan menyayangi Ayah yang selalu mennjadi teladan dalam kesabaran, kejujuran, kerja keras dan keihklasan. Aamiin.. 

#RumbelMenulis IPAceh
#KamisMenulis
#Ayah


Selasa, 20 November 2018

‘A’ Home Team: Home Team dengan Grade “A” Ala Bu Septi dan Pak Dodik

            Alhamdulillah… Ahad tanggal 11 November lalu Allah memberikanku kesempatan bisa hadir di seminar IIP Aceh bersama Bu Septi dan Pak Dodik di Banda Aceh.  Tentu kesempatan belajar ini tak lepas dari andil suami tersayang yang memberikan izin, rela berganti peran menemani Ahnaf dan Harits, serta tak lupa memberikan ongkos belajar, hehe..
Jauh sebelum hari seminar tiba, aku sudah sangat excited.  Aku sangat penasaran dengan sosok Bu Septi, bagaimana beliau berbicara, menyampaikan materi, intonasi, gesture tubuh beliau, dsb.  Karena itulah saat seminar aku sengaja duduk di barisan terdepan yang paling memungkinkan agar puas menyerap ilmu dari beliau.
Bu Septi mendapat giliran pertama untuk berbicara dan di awal penyampaian, beliau menampilkan dua buah gambar. 

Entri yang Diunggulkan

Saling mengingatkan pada kebaikan

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman ...