Jauh sebelum hari seminar tiba, aku
sudah sangat excited. Aku sangat penasaran dengan sosok Bu Septi,
bagaimana beliau berbicara, menyampaikan materi, intonasi, gesture tubuh
beliau, dsb. Karena itulah saat seminar aku
sengaja duduk di barisan terdepan yang paling memungkinkan agar puas menyerap
ilmu dari beliau.
Bu Septi mendapat giliran pertama
untuk berbicara dan di awal penyampaian, beliau menampilkan dua buah gambar.
Yang satu adalah gambar kerumunan di pasar dan yang satu lagi adalah gambar tim “Barcelona” yang sedang merayakan kemenangan. Yang satu adalah gambar kerumunan dan yang satu lagi adalah tim. Perbedaannya, tim memiliki tujuan bersama, tata nilai bersama, gerak yang terkoordinasi, dan yang tak kalah penting adalah saling berkomunikasi. Hayooo… Keluarga kita masuk kelompok yang mana, ya, lebih mirip kerumunan atau tim? Jujur, komunikasi ini masih menjadi PR tersendiri bagi keluarga kami, terutama aku yang jika ngambek cenderung diam dan enggan berkomunikasi. Bu Septi menekankan, sebuah tim akan menggunakan kata ‘kita’, bukan lagi ‘aku’ atau ‘kamu’. Jadi jika masih ada yang mengatakan, misalnya, “Ya udah, aku ngalah”, itu belum lah sebuah tim.
Yang satu adalah gambar kerumunan di pasar dan yang satu lagi adalah gambar tim “Barcelona” yang sedang merayakan kemenangan. Yang satu adalah gambar kerumunan dan yang satu lagi adalah tim. Perbedaannya, tim memiliki tujuan bersama, tata nilai bersama, gerak yang terkoordinasi, dan yang tak kalah penting adalah saling berkomunikasi. Hayooo… Keluarga kita masuk kelompok yang mana, ya, lebih mirip kerumunan atau tim? Jujur, komunikasi ini masih menjadi PR tersendiri bagi keluarga kami, terutama aku yang jika ngambek cenderung diam dan enggan berkomunikasi. Bu Septi menekankan, sebuah tim akan menggunakan kata ‘kita’, bukan lagi ‘aku’ atau ‘kamu’. Jadi jika masih ada yang mengatakan, misalnya, “Ya udah, aku ngalah”, itu belum lah sebuah tim.
Kemudian, Bu Septi memancing peserta
dengan pertanyaan, “Apakah Anda yakin sudah menikahi orang yang hebat?”. Peserta dipersilahkan menjawab berpasangan. Tentu saja peserta yang datang bersama suami/ istri berpasangan dengan pasangan masing-masing. Sesi ini membuatku sedikit menyesal tidak mengajak Ayah Ahnaf ikut. Setelah aku dan suami mengikuti PSPA bersama
Abah Ihsan setahun yang lalu, belum ada momen intim kami belajar bersama lagi rasanya. Haha.. Dan dari pertanyaan ini aku menyadari,
Alhamdulillah aku lebih banyak menemukan kehebatan Ayah Ahnaf setelah hampir 5
tahun pernikahan dibandingkan saat awal menikah dulu. Malu rasanya mengingat saat awal pernikahan
dahulu aku banyak menuntut agar ini dan itu pada suami, padahal kekurangan diri
ini banyak sekali. Bu Septi juga
mengingatkan agar membandingkan keluarga atau pasangan kita dengan keadaan
keluarga atau pasangan kita beberapa waktu yang lalu, jangan membandingkan
dengan keluarga atau pasangan lain.
Penuturan Bu Septi tentang bagaimana Pak Dodik mendidik
beliau menjadi seperti sekarang dan bagaimana beliau menjadi imam di keluarga
membuatku takjub. Salah satu perumpamaan
Pak Dodik yang diceritakan Bu Septi kurang lebih begini, “Menikah itu seperti
naik bahtera. Kapal akan berlayar jika
ada angin dan ombak, maka siapkan timnya agar kapal berlayar sampai ke tujuan.
Jika tak sanggup menghadapi angin dan ombak, maka tak usah berlayar. Silahkan saja duduk-duduk di pinggir pantai
sambil menikmati air kelapa. Tapi jangan
iri jika nanti melihat kapal lain telah berlayar mengelilingi berbagai tempat”. Ya, ternyata memang dalam pernikahan, angin
dan ombak sangat dibutuhkan untuk membuat kapal berlayar!
Sesi selanjutnya adalah giliran Pak
Dodik. Uniknya, beliau hanya berbicara beberapa
patah kata, kemudian langsung mempersilahkan peserta menyampaikan
pertanyaan. Pak Dodik menekankan mantra ‘A’
Home Team yang harus dilakukan , yaitu: banyak-banyak main bersama,
banyak-banyak ngobrol bersama dan banyak-banyak beraktivitas bersama. Ini memang tantangan keluarga di era milenial
sekarang, di mana terdapat gadget yang konon dapat mendekatkan yang jauh dan
menjaukan yang dekat. Menurut
penalaranku, mantra Pak Dodik ini bermakna serupa dengan '1821 kumpul
keluarganya Abah Ihsan', yaitu belajar, bermain dan bicara. Prinsip yang sederhana namun sering dilupakan
orang tua zaman now. Dengan 3 mantra ini, insyaAllah keluarga
kita akan lebih mudah menemukan visi yang disepakati bersama dan membuat milestone bersama.
Sebagaimana disampaikan Pak Dodik,
yakinlah bahwa pasangan kita adalah pasangan yang hebat, yakinlah bahwa kita
telah melahirkan anak-anak hebat, kemudian buatlah indikator sukses ala
keluarga kita sendiri. Nah, jika kita
telah membuat indikator sukses ala keluarga sendiri dan rutin melakukan
evaluasi, maka keluarga kita akan sibuk meningkatkan kualitas diri dan
melupakan hal tak penting lainnya. Jangan
lupa agar selalu bergantung dan memohon pada Allah agar keluarga kita yang
masih tertatih belajar ini selalu on the
track, berada dalam ridho dan cintaNya.
Sirah Nabawiyah telah mengajarkan kita ‘A’ Home Team pada zaman Rasulullah dan sahabat sebagaimana terdapat
dalam rumah tangga Nabi Muhammad saw, rumah tangga Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah , Abu Thalhah dan Ummu Sulaim serta para sahabat mulia lainnya. Zaman ini kita bisa melihat ‘A’ Home Team ala Bu Septi dan Pak Dodik,
maka seperti apa ‘A’ Home Team ala
keluarga kita?
#RumbelMenulisIPAceh
#KamisMenulis
#AHomeTeam
Luar biasa, kentara sekali jiwa pembelajar Bunda yang satu ini. Terima kasih sudah mau membagi tentang seminar kemarin ya, semoga bisa diamalkan seluruh keluarga. Menjadi sebuah Tim!
BalasHapus